Jumat, 29 April 2011

PARASIT

PARASIT
Oleh: Ali Musafa


Parasit dalam menulis bisa saja datang berupa penafsiran kita pada suatu hal. Yang hanya dilihat dari sudut pandang kita yang sempit. Atau gangguan-gangguan dalam bentuk lainnya.
***

Di kala mentari semburat di ufuk timur, dan ayam berkokok. Kok, kok, kok ... Burung-burung kecil bercericit dan menari-nari ….

Sampai di sini aku berhenti meneruskan kalimat berikutnya. Tiba-tiba terselip pemikiran kalau ada baiknya aku membaca ulang terlebih dahulu, sebelum berlanjut menulis kalimat-kalimat berikutnya. Kuamat-amati, kubaca dengan seksama, kuulang hingga beberapa kali. Dan sampai di sini, ada kebimbangan yang menyeruak dalam diriku. Ya, kalau-kalau kalimat semacam itu sudah tidak populer lagi jika digunakan untuk mengawali sebuah cerita pada era sekarang ini. Aku memutuskan untuk segera menghapusnya. Tak peduli kalau untuk keluar kalimat seperti itu saja aku menghabiskan waktu hampir dua puluh menit duduk di depan laptopku.

Bersamaan dengan itu, kata-kata Kang Aril di kelas menulis di sebuah komunitas penulis Jakarta beberapa hari lalu, yang hampir aku lupakan, tiba-tiba muncul dan mengganggu moodku. Dan bayangan kang Aril juga ikut-ikutan muncul di depan pelupuk mataku, seolah-olah Kang Aril sedang bersidakep dengan pongahnya, sambil tersenyum-senyum memandangiku yang tengah serius membuat novel pertamaku, Seraya berkata :

“Jangan gunakan kata-kata di halaman awal, tidak menarik. yang akhirnya halaman berikutnya tidak akan di baca. Sehinga membuat buku yang kamu buat tidak akan pernah untuk diterbitkan!”

Segera kukucek-kucek mataku untuk menghilangkan bayangan Kang Aril. Lalu kemudian menghirup napas dalam-dalam. Mencoba fokus dan konsentrasi kembali. Dan kembali memainkan jari-jemariku di keybord. Aku akan mencobanya lagi. Aku harus mencobanya lagi! Begitu teriakku dalam hati.

Amir terbangun dari tidurnya. Mulutnya masih menguap-uap. Dia mendekat ke arah jendela dan membukannya. Mentari yang memang sudah sedari tadi mercesuar, menerpa wajahnya. Dan dengan reflek, tangan kirinya menghalangi cahaya agar tidak langsung mengenai wajahnya…

Di sini aku pun berhenti sejenak, kembali aku tergoda untuk membacanya dari awal, kubaca lagi, dan kubaca lagi. Sampai di sini, aku merasa ada yang ganjil. Karena aku menginginkan tokoh utama dalam novel ini adalah orang yang rajin, serta mempunyai pola hidup yang baik dan sehat. Sedangkan, kalimat yang baru aku ketik, si tokoh bangun tidurnya setelah matahari terbit, alias kesiangan.

Waduh bagaimana ini? Apa harus aku hapus lagi? Jeritku dalam hati.
Ah, jangan dulu. Sebaiknya aku biarkan saja dulu. Bisik diriku yang lain.
Aku termenung sejenak, kusangga daguku dengan tangan kiri. Tangan kananku malah memegangi mouse, mengklak-klik sembarangan dan akhirnya klikkanku memutarkan sebuah lagu yang di populerkan oleh Justin Bieber. Dan baru setengah lagu aku hentikan dan aku close. Bahkan, kali ini aku meng shut down laptop ku. Kututup laptopnya, dan kumasukan kedalam tas, kutaruh kedalam tempat asalnya. Dan aku keluar dari kamar kos-kosanku, menuju depan rumah. Lalu kupandangi pohon belimbing yang daunnya bergoyang-goyang tertimpa angin pagi. Sembari berharap moodku akan segera kembali datang.

Tiba-tiba kata-kata dari Kang Aril muncul lagi. Tapi yang kali ini lain dari yang muncul sebelumnya.

“Tulislah, hal yang menarik dahulu, tak peduli itu permulaan, pertengahan, atau malah ending.”

Aku buru-buru kembali kekamar kosku. Namun ketika melawati ruang tengah, pandangan mataku tersangkut oleh posisi jarum jam dinding. Yang sudah menunjukan jam setengah delapan. Akhirnya kuurungkan niatku untuk membuka laptopku kembali. Karena aku lalu berpikir, sebaiknya aku mandi dulu dan bersiap-siap berangkat kekantor saja.
***

Aku datang dengan tergopoh memasuki kantorku. Kulirik jam yang terpangpang di dinding ruang tamu kantor. Rupanya aku berangkat cukup on-time. Walaupun tadinya aku pikir aku akan terlambat.

“Selamat pagi semuanya,” sapaku kepada teman-temanku yang sudah datang di kantor dulu.

Aku pun segera duduk manis di kursi meja kerjaku. Bukanya lagsung menyalakan komputer, atau menyiapkan pekerjaanku. Karena memang masih ada waktu lima belas menitan sampai jam kerja mulai. Aku mengeluarkan kertas lipatan dari sakuku. Yang berisikan oret-oretan untuk rancangan novelku. Kubaca oretan itu bolak-balik, bolak-balik. Hemm, sepertinya moodku muncul. Dan sepertinya ada sebuah adegan yang cukup penting melintas begitu saja dalam otakku. Aku mengambil buku kecil di tasku yang memang biasanya selalu aku bawa kemana-mana. Ya, tak ada salahnya memanfaatkan waktu yang hanya beberapa menit ini untuk menuliskan ide yang tiba-tiba melintas.

Aku harus segera menuliskannya, baru nanti aku akan menyalinnya ke komputer kalau aku sudah di rumah nanti. Begitu suport diriku dengan penuh semangat.

“Jika kita sukses di bisnis ini, momentum ini bisa menjadi sejarah buat kita. Sebagaimana tadi kita sempat nyasar.” Ucap Amir kapada suster Nevi seusai mengikuti workshop sebuah produk baru dan pengenalan planning maketingnya.

Yang rencananya kantornya baru akan buka pada pertengahan maret nanti. Suster Nevi cuma senyum-senyum mendengar ucapan Amir itu.

Sebenar Amir tertarik dengan bisnia ini. Apalagi, ini adalah perusahaan baru yang masuk di Indonesia. Dan tentunya akan memiliki peluang yang lebih prospektif. dengan didukung oleh produknya yang cukup unik ….

Kali ini moodku sedang bagus. Bahkan begitu mengalirnya aku merangkai kata-kata itu. Dan sepertinya aku juga tak peduli lagi, kalau aku sedang di tempat kerja.

“Dor! Serius amat Mas, sedang nulis apa? Sedang menulis surat cinta ya?” Indah salah satu teman kantorku. Tiba-tiba sudah berdiri di depan meja kerjaku. Aku menatap ke arahnya. Eh, dia malah mengerlingkan matanya kepadaku. Dan tersenyum padaku. Waow. Dan buru-buru segera kualihkan pandanganku. Karena aku tau hal yang seperti ini bisa juga merusak moodku dalam menulis.

“Eh, Indah. Ada apa?” sapaku dengan nada agak skeptis.

“Mas, sepulang kerja nanti ada acara ngga?”

“E…, ngga ada, kenapa?” aku menjawabnya dan menatapnya, jantungku dag dig dug dengan irama yang tidak seperti biasanya. Yang sepertinya mencurigai sesuatu yang tersirat dari pertanyaan Indah barusan.

“O, bagus kalau begitu, bagaimana kalau nanti temeni aku ketempat sepupuku di Bintaro, soalnya aku ga ada temannya, Mas. Dan ada urusan yang sangat penting di sana,” ucapnya merajuk.

Aku benar-benar tambah dibuat kaget. Kaget dan di tambah GR pula, karena yang mengucapkan kata-kata itu adalah Indah. Yang semua pria lajang dikantor ini, berebut untuk mencuri perhatiannya. Dan entah kenapa, dia tiba-tiba memintaku untuk menemaninya dalam menyeleseikan urusannya. Siapa yang tidak gede rasa coba.

Stop! Hentikan! Hardikku dalam hati.

Bukankah, aku juga sudah berjanji pada diriku sendiri. Kalau aku akan melanjutkan menulis Maha Karyaku?

Kebimbangan pun menyerangku. Kiranya alasan apa yang tepat untuk menolak ajakan Indah. Sedangkan aku barusan sudah terlanjur bilang, kalau aku belum punya acara. Begitu hatiku bertanya-tanya.

“Bagaimana, Mas?” Indahpun mendesakku.

“Aku pikir-pikir dulu, kalau tidak jadi, nanti siang aku infoin ke kamu?” sahutku begitu saja.

“Oke kalau begitu. Aku tunggu infonya Mas.”

Aku mengangguk, Indah pun pergi dari hadapanku. Aku sedikit lega sekarang, karena setidaknya aku bisa membuat alasan lagi nanti siang.

Siangnya aku segera menemui Indah. Dan meminta maaf, bahwa aku benar-benar tidak bisa menemaninya. Dengan alasan mendadak aku juga punya urusan yang cukup penting. Untungnya Indah mau mengerti dan tidak bertanya ini itu. Jadi aku tidak perlu berbohong dengan alasan-alasan yang lainnya. Dan diam-diam aku cukup berbangga karena aku tidak mudah tergoda, komitmenku tidak goyah untuk menulis Maha Karyaku. Meski yang menggodaku adalah Indah, si cantik itu.

Mudah-mudahan tak ada godaan lagi, dan aku bisa kembali berkarya sepulang kerjaku nanti. Begitu harapanku.

Sepulang kerja aku buru-buru mandi, dan solat Asar. Karena aku pikir, aku tak perlu menunggu mood, karena mood itu perlu di kondisikan, bukan di tunggu datangnya. Begitu suportku.

Bismillahirrohmaanirrohiim. Ya, Allah jadikanlah tinta-tinta yang kualirkan membawa barokah. Amin.

Ya, aku harus berdoa, karena aku akan memulai menuangkan rangkaian kata. Apalagi untuk yang kali ini, aku benar-benar sedang menggarap cerita yang sangat serius. Yang tidak seperti biasanya. Ini adalah novel yang aku buat untuk pertama kalinya. Biasanya aku hanya menulis cerita pendek saja. Atau hanya sekedar opini-opini biasa. Yang semuanya hanya untuk koleksi pribadi saja.

Namun, kali ini tidak. Novel pertamaku ini, di harapkan bisa tembus media dan bisa dinikmati khalayak.

Aku segera bersiap-siap mengeluarkan seluruh kemampuanku. Menggabungkan kedua belah otakku agar bisa bekerja secara sinergis. Melupakan segala hal yang dapat melemahkanku. Termasuk tentang persaingan di dunia literasi yang semakin kuat, tentang media yang konon katanya ada semacam koncoisme. Dan tentang hal yang di anggap mitos yang bisa melemahkan penulis pemula seperti diriku. Masa bodo, dengan semua itu. Itu urusan nanti, yang terpenting aku akan menulis. dan akan menumpahkan yang ada di otakku, yang sudah cukup lama terkubur dalam-dalam di sana.

Apa tidak sebaiknya aku memutar musik-musik slow agar menambah moodku?

Tiba-tiba pertanyaan itu meyelip saja dalam benakku. Akhirnya aku pun mengalihkan konsentrasiku. Memilih-milih lagu slow kedalam winamp. Aku mengatur sedemikian rupa, agar volume tidak terlalu keras, juga tidak terlalu lirih. Ya, kembali aku bersiap meluncurkan kata demi kata. Jari-jari tanganku pun sudah sangat siap sekali di atas keybord, tinggal menunggu perintah dari otakku. Ya, aku kembali berkonsentrasi sekarang.

O iya, sampai di sini aku jadi mengingat sesuatu. Tentang dua paragraph yang aku tuliskan tadi pagi di kantor. Dan itu paragraf penting untuk mendukung maha karyaku.

Aku pun segera beranjak untuk mengambil buku catatan itu di dalam tas kerjaku. Ku sibak-sibak seluruh isinya bahkan aku tumpahkan, namun buku catatan kecil itu tidak ada. Aku jadi garuk-garuk kepala.

“Dimanakah kau buku catatanku,” desisku.

Akhirnya, aku punya kesimpulan, bahwa buku catatanku itu ketinggalan di kantor. Dan alih-alih kecewa, aku memutuskan untuk menunda menulisku nanti malam saja. Sehabis sholat Isya, karena sekarang sebaiknya aku mau cari makan dulu di warteg seberang jalan depan. Sambil menunggu sholat mahgrib yang sebentar lagi juga hampir datang waktunya.
***

Sehabis solat Isya rasanya aku malah mengantuk. Mungkin karena aku kekenyangan. Aduh, bagaimana ini. Lho kok aku malah ngantuk. Sungguh ini di luar prediksi. Ngantukku mesti aku tahan. Tapi apakah mungkin dalam kondisi semacam ini aku akan bergelut dengan alur, intrik, serta penokohan? Benakku kembali bergolak.

Hati kecilku seperti juga berbisik, bahwa itu tidak mungkin. Namun di sisi lain, juga malah ngotot. Kalau aku harus tetap menulis apapun risikonya. Kali ini kata-kata yang melintas dan berterbangan adalah kata-kata mas Jamal, itupun hanya sebagian saja

“Menulis itu adalah sebuah proses yang panjang bukan proses yang instant!”


“ Menulis itu butuh komitmen yang kuat dan disiplin!” dan sepertinya, lintasan kata-kata mas Jamal dapat sedikit mengganjal kantukku dan berpikir kalau sebaiknya aku membuat secangkir kopi saja.

Kopi pun dengan cepat tersajikan.
Hmmm, mantaps!.

Srrupuuut …, srrupuuuut ….

Byarrr!

Dan betapa girangnya aku, kalau baru beberapa teguk kopi saja. Kantukku semakin berkurang. Bahkan aku malah merasa sangat baik. Kondisi menguntungkan semacam ini pun tidak ingin aku sia-siakan. Segera kubuka laptopku. Dan layar putih pun terpampang di depanku. Bahkan aku membayangkan bahwa itu adalah medan laga dan aku adalah petarungnya. Aku menarik napas dalam-dalam seolah-olah sedang menghimpun maha kekuatan yang sangat besar. Dan ….

Tit tula tit tula tit, … Hpku yang sedari tadi anteng dengan manis dan anggun berdiam diri diatas meja, kali ini menjerit-jerit. Dan entah kekuatan dari mana secara reflek aku segera mnyambar hpku.

Halo! Assalamu’alaikum!

Bla bla bla ….

Penelponnya adalah kakakku. Maka, perbincangan seru pun tak terhindarkan. Mulai dari mengurus akta tanah di kampung, masa depan adik-adik, serta kemungkinan-kemungkinan peluang bisnis apa saja yang kiranya bisa di berdayakan sekarang, dan bla bla bla … kalau sudah begini entah berapa lama durasi perbincangan itu sudah tidak aku hitung lagi. Hingga kakak bilang kalau dirinya sudah ngantuk dan menyudahi perbincangan ini.

Aku kembali berhadapan dengan layar putih di monitor laptopku.

Alamak! Tiba-tiba bayangan Kang Aril datang bersama dengan kalimat-kalimatnya datang lagi. Dan kemudian berganti dengan bayangan Indah teman sekantorku yang mengajakku ke Bintaro , Mas Jamal juga muncul, segala macam yang barusan aku perbincangkan dengan kakakku juga muncul. Semua datang secara bersamaan. Bagaikan parasit. Berkumpul menjadi satu dan menyerbuku. Alhasil kepalaku jadi cenat-cenut. Pusing!

Ya, aku laksana seorang petarung yang tengah kewalahan di keroyok lawan-lawannya. Kepalaku pun semakin berat dan semakin berat. Kantukku, juga ikut-ikutan menyerangku. Akhirnya aku putuskan untuk tidur saja. Ya, ku matikan laptopku. Dan beranjak ketempat tidur.

Aku roboh keatas tempat tidurku. Saat-saat seperti ini, aku baru menyadari, kalau aku perlu menghimpun kekuatan dari berbagai segi untuk jadi seorang penulis. Tentunya yang bukan hanya kemahiran secara teknis semata.

Mataku mulai merapat. Seiring mulutku komat-kamit membaca doa sebelum tidur. Harapanku saat ini adalah sesudah tidur nanti, aku bisa lebih fres dan otakku bisa mengalir dalam menulis. Syukur-syukur pas bangun tidur nanti sudah ada secangkir kopi susu yang tersaji.


Jakarta, pertengahan Maret 2011


NB: Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Mohon maaf bila ada kesamaan nama dan peristiwa. Kritik dan saran sungguh sangat saya harapkan. Cerita ini saya persembahkan untuk kita semua penulis pemula.